Minggu, 12 Desember 2010

PENDERITAAN WARGA KRISTEN DI IRAQ

Suasana peringatan 40 hari tewasnya 51 orang umat Gereja Our Lady of Salvation Baghdad, Irak, Kamis (9/12). Peringatan itu dijaga ketat oleh aparat keamanan.

BAGHDAD, KOMPAS.com – Rafah Butros duduk termenung sendirian. Ia menangis di sudut gereja saat imam berdoa bagi perdamaian dan pengampunan. Perempuan itu tidak pernah ke gereja dalam tiga tahun terakhir sampai pada 31 Oktober lalu, ketika sepupunya mengancam tidak akan mengunjunginya lagi kalau ia tidak juga ke gereja.

Pada hari itu, kaum militan menyerbu Gereja Our Lady of Salvation Baghdad, Irak. Orang-orang bersenjata itu menyandera dan kemudian menewaskan 51 jemaat dan dua imam dalam satu serangan brutal yang menurut pihak berwenang merupakan yang terburuk dalam gelombang kekerasan terbaru yang menyasar orang Kristen Irak. Butros selamat. Sepupunya, seorang pastor berusia 27 tahun, tidak.

Butros, Kamis (9/12), berada di antara lebih dari 100 orang yang datang ke gereja itu untuk memperingati 40 hari serangan itu, masa berkabung yang biasa diterapkan sejumlah komunitas di Timur Tengah.

Di telinganya, masih tergiang kata-kata terakhir sepupunya, "Saya akan menemui kamu dan berbicara dengan kamu setelah misa." Sekarang, katanya sebagaimana dilaporkan CNN, Jumat (10/12), dia tidak bisa berhenti mengunjungi gereja itu. "Saya jadi menyatu dengan tempat ini. Setiap hari saya datang ke sini. Saya merasa sepertinya jiwa saya ada di tempat ini bersama mereka (para korban)," kata Butros sambil berlutut untuk menyalakan lilin di lantai pada peringatan mengenang mereka yang tewas dan terluka dalam serangan itu.

Keamanan sangat ketat di tempat itu, Kamis, yang diserbu para penyerang yang berafiliasi dengan Al Qaeda lalu menyandera anggota jemaat selama lebih dari empat jam, dan mengubah misa malam jadi sebuah pertumpahan darah. Puluhan perempuan berpakaian hitam duduk menangis di deretan kursi plastik yang menggantikan bangku kayu yang hancur di gereja itu, yang sekarang dijuluki "Our Lady of Martyrs" oleh banyak orang Kristen.

Jendela-jendela -hancur akibat dampak tiga pengeboman bunuh diri yang meledakkan rompi mereka dalam pengepungan pasukan keamanan- tetap rusak. Bekas peluru di dinding masih tampak jelas di gereja hangus itu. Bercak darah juga masih menodai langit-langit.

Sebuah poster besar kolase foto bergambar semua korban tergantung di luar. Sepasang pengantin berpakaian putih, seorang bayi dan bocak berusia tiga tahun ada di antara mereka.

Sebuah peringatan dengan gambar wajah mereka dan lilin yang menyala berdiri di samping mezbah. Nama-nama mereka, dikelilingi lilin, membentuk salib di tanah. Lilin berwarna cerah dengan wajah-wajah mereka yang meregang nyawa ditampilkan di sudut agar bisa dilihat pelayat.

Maha al-Khoury menunjuk satu per satu gambar-gambar itu. "Ini paman saya. Ini anaknya, Bassam. Ini istri Bassam dan ayah dari istrinya. Bassam menikah delapan bulan lalu dan sedang menunggu seorang bayi. Dan seorang yang di tengah itu, Raghda, seorang pengantin baru juga, dia menikah baru 40 hari. Dia juga hamil," katanya.

Ia mengatakan, rasa takut melumpuhkan kehidupan anggota keluarganya yang masih hidup. "Putri saya menolak untuk masuk ke perguruan tinggi. Dia takut terhadap semua orang di sekitarnya dan menghindari orang-orang. Kami tinggal saja di rumah. Kami takut keluar rumah, takut untuk bergerak," katanya.

Ketakutan telah melanda sebagian besar orang Kristen Irak sejak pengepungan dan serangkaian pemboman dan pembunuhan yang terjadi, yang menyasar mereka bukan hanya di tempat ibadah, tetapi juga di rumah mereka sendiri. Hari Minggu lalu, orang bersenjata membunuh pasangan tua setelah menyerbu rumah mereka di Baghdad. Itu merupakan rangkaian pembantaian yang terakhir. Lebih dari selusin bom meledak di luar rumah keluarga Kristen bulan lalu.

Seperti kelompok minoritas lain, orang Kristen telah menjadi targetkan dalam wabah kekerasan selama tujuh tahun terakhir di Irak. Banyak orang khawatir bahwa kekerasan yang intensif itu dapat mengusir orang-orang Kristen yang tersisa di negara itu. "Rasanya sangat menyedihkan bahwa kami menjadi sasaran di negara kami sendiri. Kemana kami harus pergi sekarang. Saya sudah tinggal di sini selama lebih dari 60 tahun dan sekarang mereka ingin kami meninggalkan rumah kami? Ini keterlaluan dan menyakitkan," kata Ronah George, seorang perempuan tua. Dia meninggalkan gereja itu sambil menangis. [kompas internasional]

Tidak ada komentar: